Pentingnya Perlindungan Indikasi Geografis atas Produk Lokal

Jakarta - Di tengah gencarnya penerapan kesepakatan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) mengenai pengakuan atas hak kekayaan intelektual (TRIPS) dalam beberapa tahun terakhir, upaya-upaya meningkatkan perlindungan atas produk-produk yang menunjukkan kekhasan daerah tertentu makin meningkat. Itulah yang dinamakan sebagai indikasi geografis, yang menunjukkan bahwa barang yang dibuat memang berasal dan dijual dari wilayah aslinya dengan menunjukkan cita rasa yang unik dan kualitas yang khas. 

Misalnya, minuman anggur beralkohol wine khas Bordeaux, yang benar-benar dibuat dan dipasarkan oleh para produsen di kota anggur Prancis. Begitu pula dengan asinan lobak dan sayuran kimchi yang memang khas diproduksi dan keuntungannya dinikmati oleh para petani asal Korea. 
Di Indonesia sebenarnya banyak komoditas khas yang dapat ditonjolkan dan dilindungi melalui penerapan peraturan indikasi geografis sehingga menguntungkan para produsen lokal. Sayangnya, perlindungan indikasi geografis tersebut belum diterapkan di Indonesia sehingga produk-produk lokal dapat dengan mudah “dibajak” oleh produsen asing.
Hal tersebut terungkap saat beberapa pakar perdagangan internasional bertemu di Jakarta, 6-7 Desember. Bersama dengan beberapa pejabat dan produsen lokal, mereka membicarakan potensi penerapan perlindungan indikasi geografis atas produk-produk komoditas khas Indonesia. 

Belum Dilindungi Hukum

Pengamat komoditas dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Surip Mawardi, mengungkapkan bahwa sebagai negara kepulauan yang memiliki lebih dari 17.000 pulau dan keragaman hayati, Indonesia memiliki banyak produk lokal yang unik dan beragam. Contohnya kopi toraja, pala banda, batik pekalongan, lukisan bali-batuan, ubi cilembu, lada hitam lampung, kayu manis sumatera barat, jeruk nambangan, sarung samarinda, dan lain-lain. “Sayangnya belum ada satu pun produk asal Indonesia yang dilindungi perangkat hukum tentang indikasi geografis,” kata Stephane Passeri, pejabat dari EC-ASEAN Intelletual Property Rights Cooperation Program (ECAP). Oleh karena itu, menurut Passeri, tidak mengherankan bila produk-produk khas di Indonesia rentan dibajak dan dipalsukan.

Mengenai masalah tersebut, Surip menyajikan contoh menarik mengenai nasib kopi toraja. Bagaimana kopi khas asal suatu wilayah di Sulawesi Selatan yang memiliki cita rasa unik antara rasa asam dan pahit tersebut rentan dieksploitasi dan dipalsukan oleh pihak luar. Awal reputasi kopi toraja dimulai ketika perusahaan Kimura Coffe Co tahun 1934 memuat iklan kopi tersebut. “Aroma dan perasanya dikenal terbaik di dunia.... jumlahnya sangat sedikit sehingga hanya dinikmati para pencinta kopi. Ini adalah TORAJA COFFEE, hasil impor toko kami,” tulis iklan tersebut. 
Ironisnya, kendati terkenal kopi toraja terkesan sudah menjadi milik asing. Menurut Surip, sejumlah perusahaan kopi asing menggunakan beberapa merek dagang yang menggunakan nama Toraja, seperti Avance Toraja Coffee (Jepang), Brooks Toraja (Jepang), Ariosto Toraja Arabica Coffee Sulawesi (Jepang), Toradja Prince Coffee (Belanda) dan Toarco Toraja Coffee (Jepang). Selain itu, karena harga kopi toraja pada pertengahan 1980-an sampai dengan 1990-an dikenal lebih mahal dari kopi arabika dan kopi dari daerah-daerah lain, maka memicu terjadinya pemalsuan kopi toraja. “Akibatnya mutu menurun, bahkan menjadi inferior dan kualitasnya tidak stabil, sehingga harga jatuh,” kata Surip. 

Segera Disosialisasikan

Mengenai rendahnya kualitas produk-produk khas lokal seperti kopi toraja dan lain-lain, menurut Passeri, itulah sebabnya mengapa komoditas yang sudah bernilai tambah asal Indonesia kurang diterima di pasaran Eropa. “Produk-produk khas negeri Anda terkenal tidak konsisten dari segi kualitas dan pengemasan. Salah satu sebabnya, kurangnya kesadaran dari kalangan produsen lokal mengenai pentingnya perlindungan indikasi geografis,” kata Passeri. Dia menilai bahwa Indonesia ketinggalan dengan beberapa negara Asia Tenggara lainnya seperti Thailand dan Vietnam yang sudah menerapkan perlindungan indikasi geografis atas beberapa produk lokal. 

“Thailand sudah melindungi beberapa komoditas khas seperti beras Surin Hom Mali Pile, asam manis Phetchasun Sweet Tamarind, dan beberapa barang kerajinan. Sedangkan Vietnam sudah mematenkan produk saus ikan khas Pulau Phu Quoc,” kata Passeri. 

Ketertinggalan Indonesia tersebut diakui Direktorat Jenderal (Ditjen) Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI) Departemen Hukum dan HAM Indonesia, yang mengakui belum ada asosiasi atau institusi di tanah air yang khusus menangani perlindungan indikasi geografis. “Tanpa dilindungi peraturan indikasi geografis, daya saing produksi kita menjadi lemah sehingga harga produk asal Indonesia di pasaran menjadi sangat murah,” kata Emawati Junus, Direktur Merek dari Ditjen HAKI. 

Oleh karena itu, dengan mendapat dukungan teknis dari Passeri dan para peneliti ECAP lainnya, pemerintah Indonesia sejak 2004 mulai mengampanyekan pentingnya perlindungan indikasi geografis. Dengan memberikan dukungan dan perlindungan indikasi geografis tersebut, para produsen dan petani setempat dapat menikmati keuntungan yang besar karena produk khas mereka tidak akan dibajak ataupun diklaim oleh pihak luar. 

“Bila sudah ada perlindungan indikasi geografis, produk khas wilayah yang bersangkutan tidak boleh diklaim atau dipalsukan oleh perusahaan di tempat lain atau di negara lain,” kata Passeri. Bila ada pelanggaran atas peraturan indikasi geografis, si pelanggar akan mendapat sanksi baik secara bilateral maupun di tingkat multilateral seperti di WTO. Sedangkan Emawati mengungkapkan, pemerintah sedang menyiapkan peraturan mengenai perlindungan indikasi geografis atas produk Indonesia sejak setahun lalu. “Sebanyak 95 persen telah rampung dan akan segera disosialisasikan ke semua provinsi,” kata Emawati. (renne kawilarang) 

Copyright © Sinar Harapan 2003